Rabu, 18 November 2009

Keilmuan Islam Oleh H.A. Saefurridjal, Drs

METODE PEMIKIRAN UMMAT ISLAM DALAM BIDANG FILSAFAT, KALAM, TASAWUF DAN FIQH

A. Metode Pemikiran Filsafat.
Berfikir secara filosofis dapat digunakan dalam memahami ajaran agama dengan maksud agar hikmah, hakekat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan difahami secara seksama. Disamping itu, pemahaman agama melalui pendekatan filosofis dapat menghindarkan penganut agama itu dari pengamalan agama yang bersifat formalistik; Yakni mengamalkan agama secara susah payah

tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Namun demikian, pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengamalan agama yang bersifat formal tersebut.
Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya menggunakan akal pikiran dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami ajaran agamanya. Hanya saja menurut Prof.DR.Juhaya S.Praja ciri-ciri berikut ini melekat pada filsafat Islam; Yakni :
a. Filsafat Islam tidak meragukan kebenaran al-Qur’an dan ajaran Islam.
b. Filsafat Islam bertujuan untuk mencapai hikmah sebagai pengetahuan tunggal yang menjadi mahkota bagi segala ilmu.
c. Hikmah yang dicari oleh filsafat Islam itu adalah kualitas keagamaan yang mengandung unsur yang terambil dari al-Qur’an.
d. Filsafat Islam gemar akan masalah pengetahuan, dasar-dasar psikologi dan ontologisnya.
e. Filsasat Islam sebagai kelanjutan dari gejala pemikiran Yunani.

1. Tokoh Filsafat Islam dan Pemikirannya
a. Al-Kindi (796 - 873 M)
Ia berpendapat, bahwa antara filsafat dengan agama tidak bertentangan. Ilmu tauhid atau teologi adalah cabang termulia dari filsafat. Falsafat membahas kebenaran atau hakekat. Dan hakekat pertama adalah Tuhan. Menurutnya, Tuhan tidaklah mempunyai hakekat dalam arti a^niyah maupun ma^hiyah. Al-Kindi juga berbicara masalah jiwa dan akal. Menurutnya, Jiwa atau roh tidak tersusun (basi^tah) akan tetapi mempunyai arti penting. Substansi (jauhar) roh berasal dari Tuhan. Dan Jiwa mempunyai tiga daya; Daya bernafsu yang berpusat di perut, daya berani yang berpusat di dada dan daya berpikir yang berpusat di kepala. Daya berfikir inilah yang disebut akal. Pemikiran filsafat al-Kindi dipengaruhi oleh Aristoteles, Plato dan Neo-Platonisme.
b. Al-Farabi (872 - 950 M)
Falsafatnya yang terkenal adalah falsafat Emanasi, dimana ia menyatakan, bahwa segala yang ada memancar dari Zat Tuhan melalui akal yang berjumlah sepuluh dan alam materi dikontrol oleh akal yang sepuluh ini. Dalam pembahasannya mengenai jiwa dan akal, Ia menyatakan, bahwa akal mempunyai tiga tingkat : al-hayulani (materil), bi al-fi’l (aktuil) dan al-mustafad (adeptus). Akal pada tingkat terakhir inilah yang dapat menerima pancaran Ilahi.
c. Ibnu Sina (980 - 1037 M)
Di Barat ia dikenal dengan nama Avicenna dan lebih dikenal sebagai dokter dari filosof, sehingga ia mendapat gelar The Prince of Phsycians. Dalam filsafat ia mempunyai faham emanasi dan akal-akal baginya adalah melekat. Wujud ia bagi kedalam wajib, mungkin dan mustahil.
d. Ibnu Maskawih (lahir 1030 M)
Dalam bidang filsafat ia lebih dikenal dalam filsafat akhlaknya. Menurutnya akhlak adalah sikap mental atau jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan tanpa pemikiran. Sikap mental ini dibawa sejak lahir. Pembicaraanya mengenai akhlak membawanya kepada pembahasan mengenai jiwa; Karena akhlak berhubungan erat dengan jiwa.
Menurutnya, jiwa tidak berbentuk jasmani, dan mempunyai bentuk tersendiri, terlepas dari badan. Kesempurnaan yang dicari oleh jiwa adalah kebajikan dalam bentuk ilmu pengetahuan, keberanian dan keadilan.
e. Al-Ghazali (1059 - 1111 M)
Asal mulanya beliau mengagumi filsafat yang mungkin dipengaruhi oleh gurunya di Madrasah Nizamiah, Nisyafur. Hal ini bisa dilihat pada karyanya yang berjudul Maqasid al-Falasifah dan karya lainnya yang mengkritik pemikiran filosof adalah Tahafut al-Falasifah. Namun kemudian ia lebih dikenal sebagai seorang ahli tasawuf yang diantaranya disebabkan oleh keraguannya tentang pengetahuan yang diperoleh melalui panca indera yang diyakininya terkadang berdusta. Pengetahuan yang diperoleh dari akalpun sebenarnya tetap menggunakan pengetahuan yang diperoleh melalui panca indera sebagai bahan.
Oleh karena itu ia mengambil jalan sufi, yang membawanya kepada pengetahuan yang kebenarannya dapat diyakini. Makrifat adalah suatu tingkat dimana seorang sufi dapat melihat Tuhan dan hal-hal yang tak dapat dilihat oleh manusia biasa.
f. Ibn Rusyd (1126 - 1198 M)
Kesimpulan filosofisnya hampir sama dengan pendahulunya, bahwa falsafat tidak bertentangan dengan Islam. Karena tugas filsafat adalah berfikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta semua yang ada ini. Dan al-Qur’an banyak kata yang memotivisir manusia untuk menggunakan akal pikirannya. Sehingga apabila teks wahyu bertentangan dengan akal dan falsafat, maka teks tersebut harus diberi intrepretasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan pendapat akal.
Dalam bukunya Tahafut al-Tahafut, Ibn Rusyd membela kaum filosof atas serangan al-Ghazali yang menyatakan, bahwa pemikiran filsafat yang menyatakan alam bersifat kekal, Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam ini dan pembangkitan jasmani tidak ada adalah kafir, merupakan tuduhan yang tidak mempunyai dasar syari’at yang kuat dan terjadi salah faham serta terjadi ketidak konsistenan al-Ghazali dalam menjelaskan pembangkitan manusia.

B. Metode Pemikiran Kalam

Persoalan pertama yang menjadi sorotan ummat Islam yang kemudian berimplikasi teologis adalah berasal dari persoalan politik; Yakni peristiwa tahkim/ arbitrase antara Ali Ibn Abi Thalib dengan Mu’awiyah pada (setelah) perang Shiffin. Pemahaman terhadap persoalan ini, kemudian terfokus pada persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti, siapa yang sudah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap Islam. Konsep kafir, pada perkembangan berikutnya mengalami perubahan; Tidak hanya ditetapkan bagi orang yang tidak menetapkan hukum berdasarkan al-Qur’an, tetapi diterapkan pula terhadap orang-orang yang melakukan dosa besar. Persoalannya adalah, apakah orang yang melakukan dosa besar itu masih mukmin atau sudah menjadi kafir ?
Persoalan inilah yang kemudian berpengaruh cukup besar terhadap perkembangan teologi dalam Islam, yang pada awalnya menimbulkan tiga aliran teologi, yaitu : Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah.

1. Aliran Kalam dan Pemikirannya.
a. Khawarij.
Aliran Khawarij mengatakan, bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir; telah keluar dari Islam (murtad), karena itu wajib dibunuh. Pendapatnya ini berlandaskan pada al-Qur’an surat al-Nisa ayat 31 dan 48 dan hadits Rasulullah saw., yang menurut pemahaman mereka, bahwa dosa besar, seperti zina, sihir, membunuh manusia tanpa sebab, memakan harta anak yatim, riba, meninggalkan medan pertempuran dan memfitnah perempuan baik-baik selevel atau sederajat dengan syirk; suatu dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah, karena itu pembuatnya adalah kafir.
b. Murjiah
Aliran Murji’ah berpandangan, bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin, bukan kafir. Mengenai dosa besar yang dilakukannya, diserahkan kepada Allah, apakah akan mengampuninya atau tidak. Hal ini didasarkan pada argumentasi, bahwa keimanan seseorang terletak pada syahadat, yang diyakini dalam hatinya, bukan pada amal perbuatan. Allah lah yang mengetahui hati manusia, karena itu perbuatan tidak bisa dipakai sebagai ukuran untuk menentukan Islam dan kafir.
Disamping itu, orang yang melakukan dosa besar, dalam kehidupannya, tentu juga pernah melakukan perbuatan baik, sehingga dengan Maha Pemurah dan Maha Pengampun-NYA, mungkin Allah akan mengampuninya.

c. Mu’tazilah.
Mu’tazilah mempunyai pendapat yang berbeda dengan dua aliran diatas. Yang mengemukakan, bahwa orang yang berdosa besar, bukan kafir dan bukan pula mukmin (al-manzilah bain al-manzilatain). Dalam arti, apabila orang yang berdosa besar tersebut bertaubat sebelum matinya, maka ia akan masuk syurga. Tetapi apabila tidak sempat bertaubat, maka ia dihukumi sebagai kafir sehingga masuk ke dalam neraka untuk selama-lamanya.


d. Ahlus Sunnah ( Asy’ariyah dan Maturidiyah)
Setelah ummat Islam bersentuhan erat dengan keyakinan dan pemikiran dari agama lain dan filsafat Yunani, masuklah ke dalam Islam faham Qadariah (free will dan free act) dan faham Jabariah atau fatalisme. Kaum Mu’tazilah banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani, sehingga perkembangan selanjutnya , pemikiran teologi mereka banyak dipengaruhi oleh akal atau ratio.
Hal ini tentu saja mendapat tantangan dari Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansyur al-Maturidi, yang pada intinya persoalan yang mereka perdebatkan adalah sekitar : Fungsi akal dan wahyu, kehendak dan perbuatan manusia, kehendak dan kekuasaan Tuhan, Keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan konsep Iman.

C. Metode Pemikiran Tasawuf.
Manusia mempunyai panca indera, akal pikiran dan hati sanubari. Ketiganya harus bersih, sehat berdaya guna dan bekerjasama secara harmonis. Ada tiga bidang ilmu yang berhubungan dengannya; Fiqih berperan membersihkan dan menyehatkan panca indera/anggota tubuh, yang dikenal dengan istilah thaharah. Filsafat berperan dalam menggerakkan, menyehatkan dan meluruskan akal pikiran. Dan Tashawwuf berperan dalam membersihkan hati sanubari. Karena itu, tashawwuf banyak berurusan dengan dimensi esoterik (bathin) dari manusia
Tashawwuf mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar, bahwa seseorang berada di hadlirat Allah. Intisari dari tashawwuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Tashawwuf merupakan ilmu-pengetahuan yang mempelajari cara dan jalan seorang muslim supaya dapat berada sedekat mungkin dengan Allah swt. Tashawwuf bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah.
Dalam memahami al-Qur’an dan Hadits, kaum sufi meyakini, bahwa di belakang dalil-dalil yang berupa kata-kata dan kalimat terdapat beberapa makna yang sangat dalam dan sangat halus sebagai makna yang dimaksud oleh Alloh swt. Namun mereka tidak menetapkan makna bathin sebelum menetapkan makna lahir.

1. Tokoh Sufi dan Pemikirannya.
a. Hasan al-Bashri.( 22 - 119 H )
Beliau dikenal dengan madrasah Khauf dan raja. Khauf (takut) akan murka Allah dan Raja (pengharapan) akan karunia-NYA. Khauf mengenang dosa yang telah lampau, khauf memikirkan ajal yang masih tinggal dan khauf akan bahaya yang mengancamnya. Dasar pemikirannya adalah zuhud akan dunia, menolak kemegahannya, semata menuju Allah swt. Tawakkal, khauf dan raja tidaklah terpisah. Dalam memahami ‘“Dunia” ia menempatkan sebagai tempat beramal, hanya saja ketika bertemu dengannya dengan perasaan benci dan zuhud. Kitab yang banyak menukil kehidupan dan ajarannya, diantaranya Hullitaul Aulia, Thabaqat al-Kubra, Kuwakib al-Durriyah dan Kutul al-Qulub.
b. Rabi’ah al-Adawiyah ( 713 - 801 H)
Beliau dikenal dengan madrasah Mahabbah. Fahamnnya ini berdasar surat al-Maidah : 54 dan Ali-Imran : 30. Pengertian Mahabbahnya adalah : Memeluk kepatuhan para Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-NYA. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi. Dan mengosongkan hati dari segala-segalanya kecuali dari diri yang dikasihi. Salah satu pemikirannya dan menjadi perilaku hidupnya tercermin dalam kata-kata : “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka ... bukan pula karena ingin masuk syurga ... tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-NYA.

c. Zunnun al-Misri ( w. 860 M)
Beliau dianggap sebagai bapak faham ma’rifah. Perbedaannya dengan Mahabbah, adalah bahwa ma’rifah menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari, sedangkan mahabbah menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk cinta. Ma’rifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Ma’rifah adalah pengetahuan hakiki. Ma’rifah bukan hasil pemikiran manusia, tetapi bergantung kepada kehendak dan rahmat Allah. Dan alat untuk memperoleh ma’rifah adalah siir. Faham ini kemudian makin berkembang setelah berada di tangan al-Ghazali, yang menyatakan, bahwa pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifah lebih tinggi mutunya dari pengetahuan yang diperoleh oleh akal.

d. Abu Yazid al-Bustomi (w. 874 M)
Beliau dipandang sebagai sufi pertama yang mempunyai faham fana dan baqa. Hal ini terlihat dari kata-katanya : “ Aku tahu Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu padaNYA melalui diriNya, maka akupun hidup. Faham fana dan baqa ini sebagai salah satu prasyarat seseorang dapat bersatu dengan Tuhan, karena selama belum dapat menghancurkan dirinya, ia tak akan dapat bersatu dengan Tuhan. Fana yang dicari sufi adalah penghancuran diri, yakni hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia, sehingga yang tinggal wujud rohaninya dan ketika itu dapatlah ia bersatu dengan Tuhan.

D. Metode Pemikiran Fiqh.
1. Latar belakang.
Metode pemikiran fiqih diawali oleh kelahiran aliran kalam dan ahnaf yang dilatarbelakangi oleh domisili para ulama, yaitu Madinah dan Kufah. Madinah sebagai kota Nabi saw. Menjadikan para ulamanya sangat dimudahkan dalam menemukan riwayat. Sedangkan Kufah, jaraknya cukup jauh dari kota Nabi saw. Ini, sehingga para ulama yang berada di sana relatif lebih sulit mendapatkan riwayat atau lebih sedikit riwayat yang sampai kepadanya. Perkembangan masyarakat Islam Kufah, relatif lebih dinamis daripada masyarakat Islam Madinah. Hal ini disebabkan karena masyarakat Islam Kufah sudah bersentuhan dengan kebudayaan non Arab, yaitu Persia yang sudah mengenal filsafat Yunani. Karena itu, persoalan keagamaan-kemasyarakatan jauh lebih banyak dan kompleks.
Pokok perbedaan antara aliran kalam dan ahnaf adalah pada penetapan ra’yu sebagai sumber hukum dan keterlibatannya dalam istimbath al-hukm dan tathbiq al-hukm serta penggunaan istilah dan cara-cara yang ditempuh dalam pembahasan ushul fiqih..

a. Aliran Kalam dalam kajian hukum lebih berorientasi kepada ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw., sebagai implikasi dari dasar pemikiran mereka, bahwa syar’i hanyalah Allah dan Rasul-NYA. Mujtahid bertugas hanya menemukan hukum yang telah dikemukan oleh syar’I, bukan menciptakan hukum. Sedangkan aliran ahnaf dalam kajian hukum sangat memperhatikan karakter-karakter furu’ dan memperhatikan kepentingan kehidupan mukallaf, dengan melihat pesan-pesan al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. Dan aliran al-Jam’u merupakan sintesa pemikiran hukum yang berusaha menggabungkan antara aliran kalam dan ahnaf dalam bentuk pola pemikiran hukum yang bersifat deduktif dan induktif dengan memperhatikan relevansi kaidah ushuliah yang diperoleh dan didefinisikan oleh ulama mutaakhirin.
b. Aliran kalam dalam membahas kaidah-kaidah ushul berpegang pada analisis bahasa dan analisis illat-illat hukum. Kaidah ushul yang dikemukannya ditopang dengan argumentasi nash dan logika. Pembahasan hukum tidak terlalu terikat oleh masalah furu’ yang telah ada dari satu madzhab, tetapi lebih berorientasi pada mengemukakan suatu teori keilmuan dalam masalah hukum. Sedangkan aliran ahnaf pembahasan ushulnya bertolak dari hukum-hukum furu’ yang diterima dari imam-imam madzhab mereka, sehingga apabila terjadi pertentangan antara kaidah ushul dan hukum furu, maka kaidah tersebut dirubah. Dan aliran al-Jam’u berusaha untuk memadukan corak kalam dan ahnaf tersebut dengan mengajukan kajian ushul fiqih yang menggunakan pendekatan kebahasaan dan maqashid al-syar’iah.

PEMAHAMAN SUMBER AJARAN : AL-QUR’AN DAN HADITS.

1. Pemahaman Ahli Tasawuf.
a. Dalam memahami al-Qur’an dan Hadits kaum sufi mengambil makna bathin yang diyakininya sebagai makna yang dimaksud oleh Allah swt. Karena dibalik dalil-dalil yang berupa kata-kata dan kalimat terdapat beberapa makna yang sangat dalam dan sangat halus. Hakekat al-Qur’an tidak hanya terbatas pada pengertian yang bersifat lahiriah saja tetapi tersirat makna bathin yang merupakan makna yang terpenting. Namun mereka menyatakan, bahwa makna bathin tidak akan tercapai sebelum menetapkan makna lahir.
b. Pengetahuan tentang rahasia di dalam al-Qur’an dapat diketahui oleh kaum sufi melalui ilmu isyarat dan melalui pengamalan ajaran al-Qur’an dan Hadits, baik amal lahir maupun amal bathin, sehingga Allah akan melimpahkan ilmu Ladunni, yakni ilmu yang belum pernah mereka ketahui.

2. Pemahaman Failosof.
a. Al-Qur’an dan Hadits dipahami dengan menggunakan pendekatan filosofis baik yang berusaha untuk mengadakan sintesis atau sinkretisasi antara teori filsafat dengan ayat al-Qur’an maupun berupaya untuk menolak teori filsafat yang dianggap bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an.
b. Ta’wil merupakan salah satu cara yang banyak ditempuh oleh failosof dalam memahami nash-nash al-Qur’an dan hakekat syara’.
c. Pemahaman akal melalui filsafat terhadap al-Qur’an adalah tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Karena failosof menyakini akal bersesuaian dengan wahyu. Dan pemahaman ini dilakukan agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama.
d. Tokoh dan karyanya, seperti : Al-Farabi, karyanya Fusus al-Hukm, Fahr al-Razi, karyanya Mafatih al-Ghaib.

3. Pemahaman Fuqaha.
a. Para Fuqaha mengutamakan pemahaman / penafsiran al-Qur’an dan Hadits terhadap ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum dan menetapkan hukum-hukum fiqih daripadanya.. Al-Qurthubi dengan bukunya Jami’ ahkam al-Qur’an , Ibnu ‘Araby dan Al-Jashshash dengan bukunya Ahkam al-Qur’an dapat mewakili bagaimana pemahaman mereka terhadap al-Qur’an.
b. Dalam memahami al-Qur’an mereka terikat pada asbab al-nuzul, kaidah bahasa Arab, dan menggunakan pendekatan bil al-ma’tsur sepanjang memungkinkan.
c. Metode muqorin kadangkala mereka gunakan dalam pemahamannya terhadap al-Qur’an dengan mengemukakan pendapat-pendapat madzhabnya.

AKIBAT-AKIBAT DAN PREDIKSI PEMIKIRAN ISLAM
1. Dalam Bidang Filsafat mengakibatkan tumbuhnya sikap kritis di kalangan ummat Islam dan pemahaman yang seksama terhadap ajaran Islam. Sehingga ajaran Islam tidak dilihat sebagai sesuatu yang formalistik tetapi menjadi lebih bermakna dan mampu menangkap hikmah serta inti dari ajaran Islam itu sendiri. Hanya saja sikap pro dan kontra terhadap filsafat sebagaimana terjadi pada masa lampau hendaknya disikapi secara arif dan bijaksana, sehingga filsafat ditempatkan pada proporsi yang benar sebagai pisau analisa ajaran Islam. Dan kiranya kajian filsafat tidak terjebak pada kajian sejarah filsafat dan perlu diperkenalkan sejak SLTA. Model kajian filsafat seperti M.Amin Abdullah, Otto Horrasowitz, Majid Fakhry, Harun Nasution, Ahmad Fu’ad al-Ahwani, dan Juhaya S.Praja perlu terus dikembangkan, sehingga filsafat Islam mempunyai bentuknya yang utuh.
2. Dalam bidang kalam, yang telah melahirkan banyak aliran telah menjerumuskan kita pada kajian masa lalu yang banyak dipengaruhi oleh politik dan fanatisme. Masa kini dan masa mendatang dengan telah dipahaminya metode berpikir setiap aliran, kiranya kajian kalam akan lebih murni dan bebas fanatik. Kajian kalam yang telah dilaksanakan oleh ulama dulu dapat dijadikan model untuk kajian mendatang, baik pada obyek materialnya maupun pada objek formalnya. Kajian sejarah aliran dan perbandingannya juga dapat dijadikan salah satu tangga untuk mencapai kesempurnaan dengan dapat disimpulkannya kelebihan dan kekurangan masing-masing aliran. Sehingga harapan Islam yang satu, ummat yang satu dan tercapai.
3. Dalam bidang tasawuf yang telah melahirkan tarekat sebagai organisasi sufi hendaknya tidak membawa ummat kepada saling mengklaim, bahwa tarekatnya yang paling benar dan mampu membawa kepada Tuhan, tetapi dapat dijadikan sebagai khazanah ummat Islam dalam upayanya untuk selalu ingin sedekat mungkin dengan Tuhan, walaupun kajian kritis, mana yang mu’tabar dan tidak perlu terus dikembangkan agar tidak terjerumus kepada hal-hal yang bersifat penalaran atau pengamalan tanpa dasar syari’at.
4. Dalam bidang hukum yang telah memunculkan berbagai pranata sosial, budaya dan politik, seperti lembaga peradilan, perkawinan, wakaf, negara dan mu’amalah perlu terus dikembangkan karena melihat sifat dari hukum atau fiqih itu yang terikat oleh situasi dan kondisi sosial-kemasyarakatan, geografis dan demografis serta perkembangan ilmu dan teknologi yang secara tidak langsung telah memberikan dampak positif dan negatif yang perlu dengan segera mendapat pemecahan.
5. Dalam bidang pemahaman al-Qur’an dan Hadits, telah melahirkan berbagai macam pendekatan, metode dan corak penafsiran. Metode Maudhu’iy perlu terus dikembangkan, karena untuk saat ini dapat disebut sebagai metode yang mampu menangkap pesan Allah yang ada dalam al-Qur’an, terbebas dari pandangan aliran dan madzhab serta pembahasan yang bertele-tele, juga mampu memecahkan persoalan kehidupan dengan sinar al-Qur’an.

WALLOHU A’LAM


sumber : http://www.fkip-uninus.org/index.php/artikel-fkip-uninus-bandung/arsip-artikel/64-keilmuan-islam